HP TERBARU

KPPU Selidiki Dugaan Kartel Bunga di Industri Pinjaman Online

KPPU menyelidiki dugaan kartel bunga pinjol. AFPI membantah tuduhan dan menjelaskan latar belakang penetapan bunga. Simak penjelasan lengkapnya.
Penulis: Editorial News | Diterbitkan: 16 Mei 2025 03:25
Cari Hp
Tablet
Smartwatch
KPPU Selidiki Dugaan Kartel Bunga di Industri Pinjaman Online
Lihat Ringkasan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat ini tengah menyelidiki dugaan kartel bunga pinjaman online (pinjol) atau fintech peer to peer (P2P) lending. Kasus ini menyoroti penetapan bunga yang dilakukan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebanyak dua kali, yaitu 0,8% pada 2018 dan 0,4% pada 2021.

Sunu Widyatmoko, Sekretaris Jenderal AFPI periode 2018-2023, menjelaskan latar belakang penetapan bunga tersebut. Menurut Sunu, penetapan bunga 0,8% pada 2018 yang tertuang dalam Code of Conduct AFPI bertujuan untuk membedakan fintech lending legal dengan pinjol ilegal.

"Saat itu, mereka (masyarakat) tidak bisa membedakan mana yang legal dan tidak legal. Dengan demikian, waktu itu, OJK menyampaikan harus dibentuk suatu asosiasi khusus untuk mewadahi fintech lending agar perilaku dalam melakukan usaha itu dapat diatur sesuai dengan peraturan OJK," ungkap Sunu seperti dikutip dari Kontan.

Sunu menerangkan bahwa pembentukan AFPI pada saat itu bertujuan untuk melindungi konsumen. Oleh karena itu, AFPI menyusun Code of Conduct. OJK menilai perlu adanya tindakan yang lebih konkret untuk membedakan platform legal dengan ilegal, selain sekadar membuat kode etik.

Atas arahan OJK, AFPI diminta menetapkan batas atas bunga sebagai langkah konkret. Hal ini dilatarbelakangi oleh tingginya bunga yang dipatok pinjol ilegal, yang berkisar antara 3%-4% per hari. "OJK bilang silakan menetapkan berapa bunga maksimum yang harus ditaati oleh anggota AFPI," jelas Sunu.

Dalam proses penetapan suku bunga, AFPI mengacu pada industri fintech lending di Inggris. Namun, Sunu mengaku sempat mengajukan keberatan karena perbedaan level risiko antara Inggris dan Indonesia. "Jadi, waktu itu kami bilang oke, mengacu pada Inggris. AFPI berdiskusi dengan OJK. Akhirnya, kami sepakat. Dasar penetapan itu memang inginnya OJK. Kami diminta untuk menurunkan oleh OJK," tuturnya.

Sunu menambahkan bahwa pada saat itu, OJK belum memiliki dasar payung hukum yang kuat untuk mengatur batas bunga fintech lending. Oleh karena itu, AFPI menjadi perpanjangan tangan dari OJK dalam mengatur batas bunga.

Meskipun ada pembatasan bunga menjadi 0,8%, Sunu menegaskan bahwa persaingan usaha di antara penyelenggara fintech lending tetap terjadi. Penyelenggara bebas menetapkan besaran bunga yang dikenakan sesuai dengan profil risiko dan porsi risiko masing-masing platform, dengan catatan tidak melebihi batas maksimum 0,8%.

Terkait penyesuaian bunga dari 0,8% menjadi 0,4% pada 2021, AFPI membantah bahwa hal tersebut merupakan keinginan dari para penyelenggara. Sunu menjelaskan, "Buat kami (fintech lending), makin bunga diturunkan itu artinya adalah pinjaman yang bisa diberikan akan berkurang. Kenapa? Sebab, artinya konsep risk and return, kami hanya bisa memberikan kepada orang dengan profil risiko yang rendah. Profil risiko tinggi menjadi tidak bisa diberikan kami."

Sunu menegaskan bahwa penyesuaian bunga yang dilakukan bukanlah kesepakatan bersama antarpenyelenggara seperti yang dituduhkan KPPU. Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan tujuan para penyelenggara dalam melakukan inklusi keuangan.

"Hal itu menjawab argumen KPPU yang menyatakan bahwa penyesuaian bunga merupakan kesepakatan para penyelenggara, menjadi tidak berlaku. Jadi, bukan 5-6 orang berkumpul untuk memutuskan, itu tidak. Jadi, benar-benar organisasi menjalankan dan dalam tanda kutip diminta oleh OJK supaya bisa memerangi pinjol ilegal secara efektif," jelasnya.

Setelah disahkannya Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dan diterbitkannya Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 19 Tahun 2023 yang mengatur bunga pinjaman fintech lending sebesar 0,3%, AFPI segera mencabut batas bunga maksimum 0,4% dan menyelaraskan sepenuhnya dengan ketentuan regulator.

Sementara itu, KPPU akan segera menyidangkan dugaan pelanggaran kartel suku bunga di industri pinjol dalam Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan. Ketua KPPU Fanshurullah Asa menyatakan, "Langkah itu menandai eskalasi serius atas temuan indikasi pengaturan bunga secara kolektif di kalangan pelaku usaha pinjaman berbasis teknologi."

Penyelidikan KPPU mengungkap adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebanyak 97 penyelenggara layanan pinjaman online atau fintech lending ditetapkan sebagai Terlapor. Mereka diduga menetapkan plafon bunga harian yang tinggi secara bersama-sama melalui kesepakatan internal (eksklusif) yang dibuat asosiasi industri, AFPI. KPPU menyoroti peristiwa tersebut terjadi selama periode 2020 hingga 2023.

Kasus ini menunjukkan kompleksitas regulasi dalam industri fintech lending yang berkembang pesat. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk melindungi konsumen dan membedakan platform legal dari ilegal. Di sisi lain, penetapan bunga yang seragam dapat menimbulkan pertanyaan terkait persaingan usaha yang sehat.

Perkembangan kasus ini akan menjadi sorotan penting bagi industri fintech lending di Indonesia. Hasilnya dapat berdampak signifikan pada regulasi dan praktik bisnis di sektor ini ke depannya.

Baca Selengkapnya
Like
Simpan
Bagikan
Explore More
ExploreMore
Di halaman ini mungkin terdapat program afiliasi, dimana kami bekerjasama dengan berbagai pihak. Ikuti artikel lainnya di artikel terbaru atau halaman berita. Sedang mencari hp? Silahkan buka cari hp, cek daftar hp terbaru, atau hp terbaru di Indonesia.

...

...

Cari Hp
Tablet
Smartwatch