
- 4 hari lalu
Riset NANO Nuclear dan MIT uji garam surya untuk reaktor nuklir generasi baru. Inovasi ini bisa revolusi manajemen panas ekstrem di industri nuklir.
Apakah penetapan bunga pinjaman online selama ini benar-benar bersifat kolektif? Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kini tengah menyelidiki dugaan kartel bunga yang dilakukan oleh penyelenggara fintech peer to peer (P2P) lending di Indonesia.
Menurut Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur, proses sidang atas kasus ini sedang disiapkan. "Mungkin awal bulan depan," ujarnya, seperti dikutip dari Kontan.
Kasus ini bermula dari temuan internal KPPU yang mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. KPPU menduga telah terjadi kesepakatan antarpenyelenggara dalam penetapan bunga selama periode 2020–2023.
Diduga, perusahaan fintech lending yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sepakat menetapkan bunga sebesar 0,8%, kemudian diturunkan menjadi 0,4% pada 2021. Pedoman tersebut bersumber dari ketentuan internal asosiasi.
KPPU menilai bahwa penetapan harga, termasuk bunga, seharusnya hanya ditentukan oleh lembaga negara, regulator, atau otoritas resmi. Campur tangan pelaku usaha dalam menentukan tarif bersama dinilai dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merespons isu ini dengan menyatakan dukungan terhadap proses hukum yang dijalankan KPPU. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Keuangan Non-Bank, Agusman, menjelaskan bahwa penetapan bunga maksimal oleh AFPI dilakukan sebelum diterbitkannya aturan resmi melalui Surat Edaran OJK Nomor 19/SEOJK.06/2023.
Ia menyebut, Penetapan batas maksimum bunga tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat dari suku bunga tinggi dan membedakan pinjaman online legal dengan yang ilegal.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa dalam Pasal 84 Peraturan OJK Nomor 40 Tahun 2024, AFPI memang memiliki peran dalam pengawasan berbasis disiplin pasar dan penanganan pengaduan konsumen.
Sekretaris Jenderal AFPI, Ronald Andi Kasim, menyampaikan bahwa asosiasi menghormati jalannya proses hukum oleh KPPU. Ia menjelaskan bahwa aturan bunga 0,8% dan 0,4% saat itu diterapkan sebagai upaya industri untuk melindungi masyarakat dari pinjaman ilegal yang sering kali menerapkan bunga sangat tinggi.
Sementara itu, Sunu Widyatmoko yang menjabat sebagai Sekjen AFPI periode 2018–2023 membantah adanya kartel. Ia menegaskan bahwa penurunan bunga menjadi 0,4% merupakan hasil arahan OJK, bukan keputusan kolektif para penyelenggara.
Setelah disahkannya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dan diberlakukannya SEOJK Nomor 19 Tahun 2023, AFPI mencabut batas bunga maksimum dan menyesuaikannya dengan ketentuan baru sebesar 0,3%.
Kasus ini mencerminkan kompleksitas pengaturan dalam ekosistem fintech lending. Di satu sisi, perlindungan konsumen menjadi prioritas. Namun di sisi lain, terlalu banyak batasan justru berpotensi menghambat inovasi dan menjauhkan pelaku usaha dari segmen berisiko tinggi yang juga membutuhkan akses pembiayaan.
Dengan proses persidangan yang segera dimulai, perhatian kini tertuju pada bagaimana keputusan KPPU akan memengaruhi arah kebijakan dan dinamika industri pinjaman online di masa mendatang.