Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan segera menyidangkan kasus dugaan pelanggaran kartel bunga pinjaman online (Pinjol) atau fintech peer to peer (P2P) lending. Langkah ini menandai eskalasi serius terhadap temuan indikasi pengaturan bunga secara kolektif di kalangan pelaku usaha fintech lending.
Ketua KPPU, Fanshurullah Asa, mengungkapkan bahwa penyelidikan mereka menemukan dugaan pelanggaran Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebanyak 97 penyelenggara layanan pinjol diduga menetapkan plafon bunga harian yang tinggi secara bersama-sama melalui kesepakatan internal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
"Kami menemukan adanya pengaturan bersama mengenai tingkat bunga di kalangan pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi selama 2020 hingga 2023. Hal itu dapat membatasi ruang kompetisi dan merugikan konsumen," jelas Fanshurullah, seperti dikutip dari kontan.
KPPU telah mendalami model bisnis, struktur pasar, hingga pola keterkaitan antar pelaku di industri pinjol. Mayoritas pinjol di Indonesia menggunakan model P2P lending, yang menghubungkan pemberi dan penerima pinjaman melalui platform digital.
Berdasarkan hasil penyelidikan, KPPU memutuskan untuk menaikkan kasus tersebut ke tahap Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan. Agenda sidang bertujuan menyampaikan dan menguji validitas temuan, serta membuka ruang pembuktian lebih lanjut.
Jika terbukti melanggar, pelaku usaha dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda hingga 50% dari keuntungan berdasarkan pelanggaran atau hingga 10% dari penjualan di pasar bersangkutan selama periode pelanggaran.
Fanshurullah menekankan bahwa penanganan kasus ini merupakan bagian dari upaya menjaga ekosistem persaingan usaha yang sehat di sektor keuangan digital. Industri fintech dinilai memiliki peran strategis dalam mendorong inklusi keuangan, sehingga praktik anti-persaingan harus dihentikan dan dicegah sejak dini.
Sementara itu, Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), berpendapat bahwa kasus ini akan berpengaruh terhadap sentimen borrower dan lender terhadap industri fintech lending.
"Borrower akan berpikir bahwa seharusnya mereka bisa mendapatkan bunga yang lebih rendah sebelumnya," ujar Nailul. Di sisi lain, penyesuaian bunga yang menurun saat ini menjadikan keuntungan yang didapat lender berkurang.
"Dengan muncul persepsi bahwa borrower seharusnya dapat bunga yang lebih rendah, maka lender akan dapat keuntungan yang makin kecil. Tentu mereka akan berpikir ulang mendanai ketika bunga investasi tidak kompetitif," tambahnya.
Dari perspektif konsumen, penegakan hukum terkait kasus ini menjadi sinyal positif terhadap perlindungan hak peminjam dan efisiensi biaya layanan keuangan digital. KPPU berharap langkah ini dapat mendorong terciptanya industri fintech yang lebih sehat dan bermanfaat bagi masyarakat, khususnya kalangan kecil dan menengah.