
- 5 hari lalu
X pulih dari gangguan layanan usai kebakaran di data center Oregon, namun beberapa fitur login masih mengalami masalah.
Pernahkah terpikir bahwa baterai di perangkat Anda bisa melakukan lebih dari sekadar menyimpan daya? Sebuah terobosan dari Universitas Surrey menunjukkan kemungkinan menarik tersebut.
Para ilmuwan telah mengembangkan baterai lithium-CO₂ yang tidak hanya menyimpan energi secara efisien, tetapi juga menangkap karbon dioksida dalam prosesnya, mengubah polusi menjadi daya. Inovasi ramah lingkungan ini menjadi langkah menjanjikan menuju aplikasi dunia nyata.
"Menurut perhitungan kasar kami, satu kilogram katalis dapat menyerap sekitar 18,5 kilogram CO₂," jelas Dr. Daniel Commandeur, Surrey Future Fellow. "Itu kurang lebih setara dengan emisi dari perjalanan mobil sejauh 100 mil, artinya baterai ini bisa, secara harfiah, mengimbangi emisi perjalanan sehari."
Selama ini, baterai lithium-CO₂ memiliki beberapa kelemahan cepat aus, kemampuan isi ulang yang buruk, dan ketergantungan pada logam langka yang mahal seperti ruthenium dan platinum.
Para ilmuwan menemukan solusi dengan katalis berbiaya rendah bernama caesium phosphomolybdate (CPM), yang murah dan mudah diproduksi pada suhu ruangan. Didukung oleh pemodelan komputer dan uji laboratorium, CPM membantu baterai menyimpan 2,5 kali lebih banyak daya dibanding lithium-ion, mengisi dengan daya lebih kecil, dan beroperasi secara handal selama lebih dari 100 siklus.
"Ada kebutuhan yang semakin besar akan solusi penyimpanan energi yang mendukung dorongan kita menuju energi terbarukan sekaligus mengatasi ancaman perubahan iklim," kata Dr. Siddharth Gadkari, dosen Teknik Proses Kimia di universitas tersebut.
Untuk mengungkap mengapa CPM bekerja sangat efektif, peneliti dari Fakultas Kimia dan Teknik Kimia Surrey serta Advanced Technology Institute menggunakan pendekatan dua arah. Pertama, mereka membongkar baterai setelah beberapa siklus pengisian-pengosongan untuk memeriksa perubahan kimia di dalamnya.
Tes pasca-operasi ini mengungkapkan bahwa lithium karbonat senyawa yang terbentuk ketika CO₂ diserap, dapat secara konsisten dibangun dan dipecah, sifat penting untuk kinerja baterai jangka panjang.
Selanjutnya, tim menggunakan pemodelan komputer berdasarkan teori fungsional kepadatan (DFT) untuk mensimulasikan reaksi pada permukaan material. Hasilnya menunjukkan bahwa struktur CPM yang stabil dan berpori menyediakan platform ideal untuk proses kimia yang mendorong kinerja baterai.
"Yang menarik dari penemuan ini adalah menggabungkan kinerja kuat dengan kesederhanaan. Kami telah menunjukkan bahwa mungkin membangun baterai lithium-CO₂ yang efisien menggunakan material terjangkau dan terukur tanpa logam langka," jelas Commandeur.
Tim kini berfokus membuat teknologi lebih hemat biaya dengan mengembangkan katalis yang menggantikan caesium, karena phosphomolybdate-lah yang memainkan peran kritis.
Peneliti juga berencana mempelajari proses pengisian dan pengosongan baterai secara real-time untuk mendapatkan wawasan lebih dalam tentang mekanisme internalnya, dengan tujuan meningkatkan kinerja dan daya tahan, dengan fokus utama mengevaluasi kinerja baterai pada tekanan CO₂ berbeda.
"Jika baterai bekerja pada 0,006 bar, tekanan atmosfer Mars, mereka bisa menggerakkan apa saja dari rover eksplorasi hingga koloni. Pada 0,0004 bar, tekanan udara ambien Bumi, mereka dapat menangkap CO₂ dari atmosfer dan menyimpan daya di mana saja," tambah Commandeur.
Dengan potensi komersial yang besar, baterai ini tidak hanya dapat membantu mengurangi emisi dari kendaraan dan sumber industri, tetapi juga beroperasi di Mars, di mana atmosfernya 95 persen CO₂.